Sudah banyak pelatihan bahkan pemahaman Leadership yang
saya dapatkan. Mulai dari Transformational
Leadership, Transactional Leadership sampai Situational Leadership-nya Ken Blanchard, namun pelajaran
Leadership yang saya dapatkan di mushola kantor siang ini rasanya lebih dari
semua ‘ilmu’ leadership yang pernah saya alami. Ilmu ini saya sebut sebagai
Mihrab Leadership. Menurut Wikipedia, Mihrab adalah bagian dari bangunan masjid
atau mushalla yang biasanya digunakan sebagai tempat imam memimpin salat
berjamaah. Artinya mihrab adalah tempat dengan hierarki tertinggi dalam
hubungannya dengan proses penyembahan kita kepada Allah. Nah, sepetik kisah di
bawah ini akan menunjukkan kepada Anda betapa indahnya proses ‘perebutan
kekuasaan’ sang mihrab itu sendiri.
Ceritanya sangatlah
sederhana, bahkan mungkin beberapa di antara Anda juga sering mengalaminya.
Setelah break makan siang, mushola
kantor senantiasa padat dengan karyawan yang ingin menjalankan ibadah shalat
dhuhur, mulai dari OB sampai direktur. Ketika sudah berada di dalam mushola,
yang notabene adalah rumah Allah, tidak ada lagi perbedaan kedudukan, pangkat
dan jabatan di sana. Semua sama. Semua ingin menunjukkan baktinya kepada Sang
Khalik Semesta Alam.
Dalam shalat
berjamaah, tentunya harus ada yang menjadi imam. Di sinilah letak keindahan
‘leadership’ yang saya maksud. Alih-alih berebut ‘jabatan’ imam, sang pemimpin
shalat siang itu, setiap orang justru menawarkan kepada yang lain untuk menjadi
imam. Menjadi pemimpin. Untuk menempati singgasana ‘mihrab’. Tidak direktur,
tidak manager, tidak staff, tidak juga OB. Semua saling menawarkan, dan
terkesan ikhlas untuk dipimpin oleh orang lainnya. Luar biasanya, siang itu
yang ‘terpaksa’ (karena sebenarnya dia juga menolak karena merasa tidak enak.
Namun karena tidak ada lagi yang mau menjadi imam, maka dialah yang maju
memimpin shalat siang itu) menjadi imam
adalah OB (lebih tepatnya OM, Office Man mengingat usianya yang sudah senior,
hehehe), meski demikian namun setiap makmumnya mengikuti ‘perintah’ dari sang
pemimpin tadi dengan taat.
Meski salah satu
makmumnya adalah direktur, namun mana
berani beliau mendahului takbir sang OB tadi. Ketika sang OB takbir
memerintahkan makmumnya untuk ruku, maka ruku pulalah para manajer, staff, dan
direktur. Ketika OB bilang sujud (tentunya melalui takbir), maka sujud pulalah
staf, manajer dan direkturnya. Ikhlas. ”Sami’na
wa a tho’na” kami mendengar, dan kami taat. Tak ada keluhan. Tak ada
perdebatan. Semua sama. Patuh taat. Indah sekali bukan?
Ada beberapa
alasan kenapa tidak terjadi perebutan kekuasaan ‘mihrab’ di mushola itu :
1. Semua orang merasa ilmunya
belum cukup untuk menjadi imam (baca: pemimpin). Oleh karena itu mereka lebih
ikhlas ketika dipimpin oleh orang lain yang mereka anggap lebih capable. Lebih mampu. Karena mereka
pastinya punya pengharapan bahwa shalatnya akan diterima oleh Allah, karena
dipimpin oleh orang yang tepat. Dan tentunya memang akan lebih nyaman rasanya
ketika kita berada di perahu yang tepat.
2. Semua orang merasa dirinya
belum bersih untuk menjadi imam (baca: pemimpin). Biasanya orang yang seperti
ini akan mejadi peragu dalam mengambil keputusan. Jumlah rakaatpun bisa kurang
atau berlebih, karena ada keraguan dalam dirinya. Ada ketakutan Allah tidak akan
menerima shalatnya. Faktanya, adakah orang yang benar-benar bersih dari dosa?
Pembaca yang
berbahagia, tentunya Anda pernah berada dalam posisi seperti itu bukan?
Pertanyaannya adalah dengan posisi atau jabatan yang sekarang kita panggul,
pernahkah kita merefleksikan diri seperti ketika kita mau melaksanakan shalat
berjamaah tadi. Pernahkah Anda merasa bahwa sebenarnya ilmu Anda belum cukup
untuk jabatan Anda sekarang dan sebenarnya ada orang lain yang lebih capable. Ikhlaskah Anda menawarkan
jabatan Anda sekarang kepada mereka yang Anda anggap lebih mampu menjalankan
posisi Anda?
Atau, apakah
Anda sudah merasa bersih dari dosa pekerjaan Anda. Dalam hal ini berarti,
kedisiplinan tinggi, komitmen yang kuat dan integritas yang jelas akan
pekerjaan Anda? Karena bukankah hanya dengan bekal tiga hal itulah maka kerja
Anda akan diterima oleh manajemen, seperti halnya shalat kita diterima olehNya?
Lalu kalau jawaban Anda adalah belum dan belum, lalu kenapa Anda tetap ‘nekat’
menerima tanggung jawab atas jabatan yang sekarang Anda genggam?
Pembaca yang
berbahagia, Anda tak perlu kesal pada cecaran pertanyaan saya tadi. Ataupun
kemudian menjadi patah semangat karena merasa bahwa ternyata cecaran pertanyaan
saya tadi adalah benar adanya, hehehe. Dalam ilmu Leadership yang lainnya
sebenarnya masalah seperti ini bisa diatasi. Caranya :
1. Kenali diri Anda. Apa
kelebihan Anda, dan apa kekurangan Anda, apa peluang dan ancamannya. Saya kasih
nama jurus ini jurus KEKEPAN (Kelebihan, Kekurangan, Peluang dan Ancaman).
2. Kenali lingkungan Anda. Apa
harapan mereka kepada kita. Apa yang kira-kira bisa kita berikan kepada mereka.
Anggap saja sebagai jurus penerawangan.
3. Kemudian ukur kemampuan kita dibandingkan dengan keinginan dan kebutuhan lingkungan
kita tadi. Dari sini kita akan menemukan
‘gap’. Ini namanya jurus ukur.
4. Setelah mengetahui ‘gap’ tadi, maka satu hal yang harus segera kita
lakukan adalah meningkatkan : KAPASITAS kita. Dengan kata lain segeralah
belajar, tutupilah kekurangan kita tadi. Kalau kata Ipho Santoso,
memantas-mantaskan diri. Mau jadi manager, ya pelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan ilmu manajemen. Mau jadi imam, ya belajar lagi bacaan Qur’annya.
Ada satu
kelebihan lagi dari leadership tipe ini. Bila dalam ilmu kepemimpinan lain,
yang biasanya berkuasa dan mempunyai wewenang untuk meluruskan atau mengoreksi
adalah sang pimpinan maka dalam mihrab leadership yang terjadi adalah
sebaliknya. Coba Anda cermati, begitu sang imam mengucapkan takbiratul ihram,
maka meskipun semua makmum wajib taat pada ‘komando’ sang imam, namun
pengawasan melekat (waskat) justru dilakukan oleh para makmum tersebut.
Nyatanya, setelah imam bertakbir, maka dia sudah tidak bisa memantau makmumnya
lagi. Kalaupun ada makmum yang tidak mengikuti perintahnya dengan sempurna,
ianya hanya mampu berserah kepada Allah. Namun ketika sang imam yang melakukan
kesalahan, apa yang terjadi? Para makmumlah yang berkewajiban mengingatkan
imam! Dan luar biasanya lagi, sebagai imam shalat, maka mereka harus ‘aware’
alias waspada dan siap menerima masukan, untuk kemudian langsung
memperbaikinya. Hebatnya lagi, bahkan mereka juga harus ikhlas digantikan
ketika kesalahannya benar-benar sudah fatal (ketahuan kentut, misalnya).
Dari penjelasan
ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) komponen penting dalam Mihrab
Leadership:
1.
Pemimpin mumpuni yang berorientasi pada ‘action’
sehingga tidak peragu
2.
Rakyat yang tawadhu, taat
kepada pemimpinnya namun tetap siap waskat sehingga tak mempan diajak kolusi
Pembaca yang
berbahagia, bayangkan jika mihrab leadership ini kita implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Wow, tak perlu ada demo, tak perlu pula saling berebut
kekuasaan. Semua menjadi indah, karena masing-masing kita sudah menyadari
porsinya. Rakyat bersedia dipimpin oleh ahlinya, namun pemimpin juga wajib
sadar kritik dan siap memperbaiki diri.
Sederhana sekali
khan. Yup, itulah Mihrab Leadership …..
-haridewa-
Inspiring banget nih tulisan dari mas Dewo...ternyata mighrab leadership,jauh-jauh sudah diajarkan dibanding ilmu-ilmu menagement leadership dari universitas manapun..Subhannallah.
BalasHapus